Tuesday, October 6, 2020

Toxic ?

   Semuanya tentu pernah dengar, membaca, atau bahkan pernah memberi label orang lain ‘toxic’.  Terus terang, beberapa waktu ini kata ‘toxic’ ini cukup menghantuiku. Membuat aku questioning myself for some reason (terutama karena apa yang baru saja terjadi pada diriku). Selain itu, aku juga mempertanyakan, kenapa sih, orang mudah banget bilang orang lain toxic ?. Akhirnya, aku mulai nyari-nyari artikel yang mungkin menjawab pertanyaan di otakku, dan ternyata ada suatu artikel yang membahas jawaban dari pertanyaan yang ada di otakku ini. Artikel yang aku baca cukup menarik, ternyata, kita gak boleh sembarangan memberi label orang lain toxic walaupun kita ngerasa orang itu membawa pengaruh buruk ke kita. Mungkin informasi ini akan bermanfaat buat banyak orang, karena ini jadi reminder buat aku juga juga :). 

  Kata ‘toxic’ yang artinya racun memang sangat dekat dengan kita, kita bisa menyimpulkan toxic berarti mematikan dan membahayakan. Oleh karena itu, term ‘toxic’ ini sering dikaitkan dengan relationship. Toxic relationship, yaitu hubungan yang tidak memberi dampak baik untuk kita bahkan drained us mentally, dan hubungan ini sering di wanti-wanti agar kita segera tinggalkan. Untuk membangun batas atau boundaries untuk diri kita dari orang-orang yang ‘toxic’ atau simply orang-orang yang tidak membawa diri kita pada perubahan yang positif memang penting. Tapi sadar gak sih, kalau melabeli orang dengan kata ‘toxic’ itu harus ekstra hati-hati, karena dampak melabeli seseorang ‘toxic’ itu sangat besar untuk orang itu. Selain itu, bisa jadi kita tidak tahu faktor apa yang membuat orang itu menjadi ‘toxic’.

  Bisa jadi orang yang kalian labeli ‘toxic’ itu punya mental illness. Orang yang depresi atau mengalami gangguan mental tentu tidak bisa memberi positive energy ke orang-orang di sekitarnya. Kita dengan mudahnya memberi predikat toxic pada orang-orang yang gak bisa memberi positivity dalam suatu hubungan, misal, saat lagi ngobrol sama teman kita bilang “Orang ini kok bawaannya negatif terus, gak bikin semangat, toxic banget orang ini” atau “Orang ini overhinking banget, gak santai, gak asik banget. Gak enak deket dia, pengaruh buruk, toxic”. Padahal bisa jadi dia sedang depresi dan fighting his/her own battle sehingga dia gak bisa memberi positivity. Kalau kamu berharap orang depresi bisa memberi kamu aura positif dan membuat kamu merasa lebih baik, itu mustahil.

  Aku mengutip sebuah quotes dari artikel yang aku baca ‘When mental health illnesses take hold, rationality goes out the window. I was toxic, but not to my core’.  Intinya orang yang punya mental illness sering berpikir irrational dan membawa aura negatif, tapi bukan berarti dia ‘ingin’ jadi ‘toxic person’. Orang yang depresi bukan tidak mau mengerti dan mendengarkan masalah yang kalian hadapi, tapi mereka cenderung terpaku dengan masalahnya sendiri karena dia juga sedang berusaha keras keluar dari jurang depresi. Nah, bisa jadi orang yang kamu labeli ‘toxic’ adalah orang yang sebenarnya sedang membutuhkan pertolongan kalian untuk memulihkan kesehatan mentalnya. Bayangkan, ketika kamu melabeli orang-orang yang punya mental illness ‘toxic’ akan berdampak apa untuk mereka ?. Bukannya mereka malah bangkit, tapi justru semakin terpuruk alias ngedown dengan label yang kalian berikan.

  Terus terang karena aku pernah mengalami anxiety, waktu aku lebih stabil dan bisa berpikir secara normal, aku sadar banget, betapa irrationalnya cara berpikirku saat itu. Aku kehilangan pertemanan karena apa yang aku alami (persis banget kayak artikel yang aku baca, ternyata aku gak sendirian :’( ). Awalnya sedih banget kehilangan pertemanan dan di sisi lain bersyukur juga karena masih ada teman-teman yang support aku , membantu aku bangkit, dan mengerti apa yang aku hadapi saat itu (walaupun aku gak bisa ngasih apa-apa ke mereka saat itu even positivity, terima kasih banyak teman-teman yang udah stay with me, believe in me, dan tahu kalau aku dalam proses menemukan diriku lagi). Tapi sekarang aku sadar, the decision to walk out from someone’s life itu wajar-wajar aja. Apalagi kalau kamu merasa pertemanan itu tidak membuat kamu jadi orang yang berkembang. Aku menghargai teman-teman yang menjauh dari aku, karena kesehatan mental mereka juga jauh lebih penting. Tapi jangan dengan mudahnya melabeli orang itu ‘toxic’ karena dia gak membawa impact positive untuk kamu saat itu, you just simply don’t meet him/her at the right time. Bisa jadi orang itu lagi di posisi terbawah hidupnya. Bisa juga dia punya mental illness, lagi banyak masalah, dan lain hal yang kalian tidak tahu tentang kehidupannya. Kalau kalian ketemu orang itu di waktu yang tepat, bisa jadi dia orang yang jauh berbeda loh. Kalian harus tahu background  orang itu memberikan toxicity ke dalam suatu hubungan karena apa.

  Ingat, dampak memberi predikat ‘toxic’ sangat besar untuk orang itu.  Ketika kalian melabeli seseorang sebagai ‘toxic person’ dan memberitahukan hal itu ke orang-orang di sekitar kalian, mereka akan punya stigma negatif sama orang yang kalian beri label ‘toxic’ itu. Orang-orang akan menjauhi dia begitu aja tanpa tahu permasalahan hidup yang dia alami yang mendasari dia memberi toxicity ke orang lain. Kasihan kan, apalagi kalau orang itu sebenarnya butuh mental support dari orang-orang di sekitarnya, tapi karena stigma negatif ke orang itu, dia justru gak mendapatkan apa yang seharusnya dia dapatkan. Kalau kalian merasa gak nyaman dengan seseorang, just simply walk out of his/her life, jangan melabeli dan membicarakan hal buruk, karena kamu juga gak tahu apa yang dia alami dan hadapi.

  Selain itu, semua orang pasti pernah melakukan hal-hal yang berbau toxic. Itu juga salah satu alasan aku questioning myself beberapa hari ini. Bisa jadi dan sudah pasti sih, aku sendiri pernah melakukan hal-hal yang toxic ke orang lain. Lebih baik kita banyak introspeksi diri kita juga agar tidak memberikan toxicity ke orang lain. Karena kita semua punya possibility berperilaku dan memberi dampak buruk ke orang lain tanpa kita sadari. Ingat, no one is perfect, semua orang melakukan kesalahan dan berproses dalam hidupnya.

  Link artikel yang menjawab pertanyaanku, my inspiration article’s link : https://metro.co.uk/2019/01/01/be-careful-who-you-label-toxic-they-may-be-a-friend-in-need-8298618/

Sunday, October 4, 2020

Haruskah ku berlari ?

Ku ingin berlari

Diterpa lantangnya perkara

Menelisik agar pergi menjauh

Tak sanggup kumpulkan asa

Biarlah putus dalam jejak 


Ku biarkan tangis menelusuri

Langkahku yang gamang ini

Yang tak kuasa tuk hadapi

Terpaan badai

Di tengah laut kehidupan


Harapan ini bagai candu

Mencengkeram kakiku

Agar tak menjelajah dan hilang

Angin hanyutkan kecewa

Tunjukkan diriku mentari

Yang membisikiku asa berkejora


Arah angin itu selalu mengantarkanku

Pada pelabuhan yang sama

Tak bisa ku pergi

Terpaksa ku hadapi dalam harap

Jadi, haruskah ku berlari ?

Friday, August 28, 2020

Semua Orang Melakukan Kesalahan

Everyone makes mistake, sometimes good people make bad choices, it doesn’t mean they’re bad, it means they’re human

  Aku punya prinsip kalau aku ketemu orang, aku melihat bagaimana orang itu mau berubah, bukan melihat masa lalu dan kesalahan orang itu. Aku respect banget sama orang yang pernah ngelakuin kesalahan dan dia mengakui kesalahannya dan belajar untuk gak mengulangi kesalahan yang sama. Sering banget kita melihat orang yang dihakimi karena kesalahannya, di bully, dan terus dibahas kesalahannya walau udah bertahun-tahun lamanya hingga dia tertekan, padahal dia udah berubah dan belajar dari kesalahannya, tapi terus aja dihakimi. Wajarnya, kalau orang melakukan kesalahan itu ‘diingatkan’ bukan ‘dijatuhkan’. Kalau udah berubah, ya tidak usah dibahas lagi kesalahannya dia yang lampau, lihatlah orang itu dari bagaimana mereka berproses. Terlepas dari latar belakang orang itu, baik dia cantik atau enggak, tampan atau enggak (tampan cantik juga relatif), kaya atau enggak, pintar atau enggak, no one has rights to drop someone down.

  Tiap orang boleh banget mengingatkan orang lain atas kesalahan mereka dengan baik-baik. Pengecualian kalau orang itu batu dan bangga sama kesalahannya dan gak punya niatan berubah dan belajar dari kesalahannya, nah, orang seperti ini memang harus ditegur agak keras. Tapi kalau enggak, kalian harus belajar memaafkan dan melihat orang lain bertumbuh dari kesalahannya, beri dia ruang untuk menyesali kesalahannya tanpa kalian harus terus menerus judge dia.

  Orang baik pun kadang salah mengambil keputusan, bukan berarti mereka buruk, tapi itu menandakan mereka MANUSIA. Punya salah itu wajar, kalau kalian nyari orang yang gak punya salah, gaakan pernah ada manusia yang seperti itu. Tiap kalian mau ngomong buruk tentang orang lain, please, lihat diri kalian. Aku juga sering kok, tahu si ‘ini’ pernah ngelakuin kesalahan tapi aku mencoba untuk introspeksi diri kalau aku juga banyak dosa dan kesalahan. Dan juga kalau kalian punya prinsip “Ya, harus di judge biar dia belajar dari kesalahan”. Kalian salah besar. Inget, gak semua orang mentally strong, yang ada mereka bukan malah belajar dari kesalahan, tapi drop dan gak bisa melanjutkan hidup mereka, dan parah-parahnya suicide, serem, kan ?. Kalian gak pernah tahu efek kalian menjudge mereka yang melakukan kesalahan bisa sejauh apa untuk diri mereka. 

  So, please, don’t judge, kita sama-sama manusia, sama-sama melakukan kesalahan, lebih baik saling mengingatkan dalam kebaikan. Bukan saling menjatuhkan, menghakimi, menyakiti hati orang, dan lupa dengan kesalahan diri masing-masing.

Kalian harus inget, semua orang berproses dalam hidupnya.